Senin, 13 April 2015

Seminar "Melek Media Sosial" Prodi Ilmu Komunikasi UMM

Diskusi : Dari Kiri (Nasrullah, MSi, Dra Sirikit Syah, MA, dan moderator Widiya Yutanti, MA) saat menyampaikan materi seminar bertema "Melek Media Sosial" kepada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi (Ikom) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang hadir di Ruang Teater UMM Dome, Rabu (8/4). (Rizkyawind/Humas UMM)

Media sosial layaknya dua sisi mata uang. Satu sisi media sosial mampu memberikan manfaat jika penggunanya bijak dan cerdas. Di sisi lainya, jika tidak hati-hati, maka media sosial juga bisa mendatangkan malapetaka bagi penggunanya. Oleh karenanya para Netizen (sebutan bagi para pengguna internet/media sosial) harus benar-benar mengerti etika dan tata cara berkomunikasi melalui media sosial.

Hal inilah yang ingin disampaikan Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi (Ikom) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dalam seminar yang bertema “Melek Media Sosial”, Rabu (8/4). Bertempat di ruang teater UMM Dome, seminar ini disampaikan dua pakar di bidang media literasi, yakni Direktur Lembaga Konsumen Media Watch, Dra. Sirikit Syah., MA dan aktivis Media Literacy UMM, Nasrullah., MSi.

Sirikit Syah yang mendapatkan kesempatan pertama menyampaikan, jika dahulu public sphere (ruang publik) atau tempat untuk orang-orang berbagi informasi adalah tempat-tempat umum seperti warung kopi, saat ini telah bergeser ke ranah media sosial. Keadaan ini disebabkan media massa tradisional seperti televisi, radio dan koran sudah tidak lagi menyediakan ruang untuk masyarakat bisa berinteraksi di dalamnya.

“Ada koran yang tidak memiliki surat pembaca, radio yang tidak punya siaran interaktif, dan televisi yang tidak menerima telepon” ujar wanita yang pernah bekerja di The Brunei Times tersebut.

Sirikit Syah yang juga pernah menjadi wartawan The Jakarta Post, Surabaya Post, SCTV dan RCTI ini  menambahkan, munculnya media sosial disebabkan media tradisional yang menggunakan frekuensi publik seharusnya memberikan dedikasinya kepada masyarakat, namun pada kenyataannya malah digunakan golongan-golongan atau masyarakat tertentu yang memiliki kepentingan politik.

“Makanya orang-orang pada lari ke sosial media. Dan kalo kita sudah tidak percaya lagi pada pilar demokrasi yang keempat (pers/media massa), kita akan menciptakan pilar yang kelima, media sosial” tambahnya.

Dengan munculnya media sosial, orang-orang bisa membicarakan apa saja kepada publik tanpa harus disensor oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun secara instan. Tapi dengan begitu, muncul masalah baru yang belum banyak pengguna media sosial mengerti, yaitu kehati-hatian dalam berkomunikasi melalui media sosial.

“Sosial media bersifat masiv dan publik, tidak ada yang privat di sosial media jadi rentan terhadap fitnah dan pencemaran nama baik, sesuatu yang sudah diunggah tidak mudah untuk diralat” jelas Syirikit, yang saat ini juga mengajar sebagai dosen beberapa universitas terkemuka di Jawa Timur.

Ia pun memberikan contoh kasus penggunaan media sosial Twitter yang tidak bijak dan berdampak buruk sangat cepat bagi penggunanya. “Ada seorang Eksekutif PR (Public Relations) asal Eropa yang saat itu ditugaskan oleh perusahaannya untuk pergi ke Afrika dan kemudian men-tweet postingan rasis tentang Afrika sebelum naik ke pesawat. Setelah sampai di Afrika, ia sudah dipecat dan dihujat oleh jutaan orang akibat postingannya tersebut, padahal perjalanan hanya kurang lebih 4 sampai 5 jam saja” tuturnya.

Sirikit pun menghimbau mahasiswa untuk menjadi konsumen media yang berdaya. Ia juga mengajak untuk membentuk lembaga media watch di komunitas, kampus, dan lain-lain. “Untuk menjadi berdaya, kita harus mampu melek media dengan mengerti kinerja media dan kebutuhan akan media, bijak menyikapi media, memproduksi informasi dan berbagi pengalaman serta pengetahuan yang bermanfaat, juga mengubah status yang lebay atau berlebihan menjadi kalimat penuh hikmah dan inspiratif,” ajak Sirikit.

Sirikit juga menyarankan agar para Netizen di Indonesia memahami  Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur tentang perbuatan yang dilarang dalam penggunaan media sosial ataupun media elektronik lainnya.“Penting untuk melindungi kepada masyarakat Indonesia yang melakukan transaksi atau tukar menukar informasi melalui alat elektronik agar apa yang disampaikan di ranah media sosial tidak sampai ke ranah hukum” pungkasnya.

Senada dengan yang dikatan Sirikit, Nasrullah juga menjelaskan, media sosial memiliki kelebihan dibandingkan media tradisional. “Bisa dikelola sendiri tanpa harus ada institusi yang besar dan mahal dan kita memiliki otoritas sendiri.” ujarnya.

Namun karena sifat media sosial yang bisa dikelola sendiri tanpa adanya sensor dan bersifat publik maka jika tidak hati-hati akan timbul kerugian bagi penggunanya. “Menjadi beresiko dan menjadi petaka ketika konten-konten pribadi anda kemudian di-share ke orang lain tanpa sepengetahuan anda.”kata pria yang saat ini menduduki jabatan kepala Humas UMM ini.

Sugeng Winarno selaku Kepala Prodi Ikom UMM mengatakan, saat ini Prodi Ikom UMM memang fokus pada pengembangan dan penguatan program literasi media kepada masyarakat. “Kita sudah ke pondok-pondok pesantren, SMK dan Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) untuk kita buat simbol-simbol media literasi,” katanya.  (Bagas Suryo Adi/MMM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar