Media sosial layaknya dua sisi mata uang. Satu sisi media sosial mampu memberikan manfaat jika penggunanya bijak dan cerdas. Di sisi lainya, jika tidak hati-hati, maka media sosial juga bisa mendatangkan malapetaka bagi penggunanya. Oleh karenanya para Netizen (sebutan bagi para pengguna internet/media sosial) harus benar-benar mengerti etika dan tata cara berkomunikasi melalui media sosial.
Hal inilah yang ingin disampaikan
Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi (Ikom) Universitas Muhammadiyah Malang
(UMM) dalam seminar yang bertema “Melek Media Sosial”, Rabu (8/4). Bertempat di
ruang teater UMM Dome, seminar ini disampaikan dua pakar di bidang
media literasi, yakni Direktur Lembaga Konsumen Media Watch, Dra. Sirikit Syah.,
MA dan aktivis Media Literacy UMM, Nasrullah., MSi.
Sirikit Syah yang mendapatkan kesempatan
pertama menyampaikan, jika dahulu public
sphere (ruang publik) atau tempat untuk orang-orang berbagi informasi adalah
tempat-tempat umum seperti warung kopi, saat ini telah bergeser ke ranah media
sosial. Keadaan ini disebabkan media massa tradisional seperti televisi, radio
dan koran sudah tidak lagi menyediakan ruang untuk masyarakat bisa berinteraksi
di dalamnya.
“Ada koran yang tidak memiliki
surat pembaca, radio yang tidak punya siaran interaktif, dan televisi yang
tidak menerima telepon” ujar wanita yang pernah bekerja di The Brunei Times
tersebut.
Sirikit Syah yang juga pernah
menjadi wartawan The Jakarta Post, Surabaya Post, SCTV dan RCTI ini menambahkan, munculnya media sosial disebabkan
media tradisional yang menggunakan frekuensi publik seharusnya memberikan
dedikasinya kepada masyarakat, namun pada kenyataannya malah digunakan
golongan-golongan atau masyarakat tertentu yang memiliki kepentingan politik.
“Makanya orang-orang pada lari ke
sosial media. Dan kalo kita sudah tidak percaya lagi pada pilar demokrasi yang
keempat (pers/media massa), kita akan menciptakan pilar yang kelima, media
sosial” tambahnya.
Dengan munculnya media sosial,
orang-orang bisa membicarakan apa saja kepada publik tanpa harus disensor oleh
siapapun, kapanpun dan dimanapun secara instan. Tapi dengan begitu, muncul masalah
baru yang belum banyak pengguna media sosial mengerti, yaitu kehati-hatian
dalam berkomunikasi melalui media sosial.
“Sosial media bersifat masiv dan
publik, tidak ada yang privat di sosial media jadi rentan terhadap fitnah dan
pencemaran nama baik, sesuatu yang sudah diunggah tidak mudah untuk diralat”
jelas Syirikit, yang saat ini juga mengajar sebagai dosen beberapa universitas
terkemuka di Jawa Timur.
Ia pun memberikan contoh kasus penggunaan
media sosial Twitter yang tidak bijak dan berdampak buruk sangat cepat bagi
penggunanya. “Ada seorang Eksekutif PR (Public
Relations) asal Eropa yang saat itu ditugaskan oleh perusahaannya untuk
pergi ke Afrika dan kemudian men-tweet
postingan rasis tentang Afrika sebelum naik ke pesawat. Setelah sampai di
Afrika, ia sudah dipecat dan dihujat oleh jutaan orang akibat postingannya
tersebut, padahal perjalanan hanya kurang lebih 4 sampai 5 jam saja” tuturnya.
Sirikit pun menghimbau mahasiswa
untuk menjadi konsumen media yang berdaya. Ia juga mengajak untuk membentuk
lembaga media watch di komunitas, kampus, dan lain-lain. “Untuk menjadi
berdaya, kita harus mampu melek media dengan mengerti kinerja media dan
kebutuhan akan media, bijak menyikapi media, memproduksi informasi dan berbagi
pengalaman serta pengetahuan yang bermanfaat, juga mengubah status yang lebay
atau berlebihan menjadi kalimat penuh hikmah dan inspiratif,” ajak Sirikit.
Sirikit juga menyarankan agar para
Netizen di Indonesia memahami Undang-Undang
(UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur tentang perbuatan
yang dilarang dalam penggunaan media sosial ataupun media elektronik lainnya.“Penting untuk melindungi kepada
masyarakat Indonesia yang melakukan transaksi atau tukar menukar informasi
melalui alat elektronik agar apa yang disampaikan di ranah media sosial tidak
sampai ke ranah hukum” pungkasnya.
Senada dengan yang dikatan Sirikit,
Nasrullah juga menjelaskan, media sosial memiliki kelebihan dibandingkan media
tradisional. “Bisa dikelola sendiri tanpa harus ada institusi yang besar dan
mahal dan kita memiliki otoritas sendiri.” ujarnya.
Namun karena sifat media sosial
yang bisa dikelola sendiri tanpa adanya sensor dan bersifat publik maka jika
tidak hati-hati akan timbul kerugian bagi penggunanya. “Menjadi beresiko dan
menjadi petaka ketika konten-konten pribadi anda kemudian di-share ke orang
lain tanpa sepengetahuan anda.”kata pria yang saat ini menduduki jabatan kepala
Humas UMM ini.
Sugeng Winarno selaku Kepala
Prodi Ikom UMM mengatakan, saat ini Prodi Ikom UMM memang fokus pada pengembangan
dan penguatan program literasi media kepada masyarakat. “Kita sudah ke
pondok-pondok pesantren, SMK dan Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) untuk kita
buat simbol-simbol media literasi,” katanya.
(Bagas Suryo Adi/MMM)